TEKNIK IDENTIFIKASI White Spot Syndrome Virus (WSSV) PADA UDANG VANNAMEI (Litopenaus vannamei) DENGAN METODE Polymerase Chain Reaction (PCR) DI PT. SURI TANI PEMUKA
(STP) UNIT
HATCHERY CARITA KECAMATAN
CARITA,
KABUPATEN PANDEGLANG,
PROVINSI BANTEN
PROPOSAL KERJA PRAKTEK
AKHIR (KPA)
JURUSAN TEKNOLOGI
BUDIDAYA PERIKANAN
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
oleh:
DEDE HERMAWAN
NIT. 10. 3. 02. 097
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN
PERIKANAN
BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
AKADEMI PERIKANAN
SIDOARJO
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Teknik Identifikasi White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Vannamei (Litopenaues Vannamei) dengan
Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Carita Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.
Nama : Dede Hermawan
NIT : 10.3.02.097
Jurusan : Teknologi Budidaya Perikanan
Proposal Ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Melaksanakan Kerja Praktek Akhir (KPA)
Jurusan Teknologi
Budidaya Perikanan
Akademi Perikanan
Sidoarjo
Tahun Akademik 2013/2014
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen
Pembimbing II
Dr. Muh. Hery Riyadi A, S.Pi, M. Dwilaksono K, S.Pi.,
MT
Tanggal: Tanggal:
Mengetahui,
Ketua Jurusan
TBP
Dr. Muh. Hery Riyadi A, S.Pi, M.Si
NIP. 19470304 199903 1 002
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Proposal Kerja Praktek Akhir ini tepat pada waktunya.
Penyusunan Proposal Kerja Praktek Akhir ini dapat dilaksanakan
dengan baik berkat bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
- Bapak Dr. H. Endang Suhaedy, A.Pi., MM., M.Si, selaku Direktur Akademi Perikanan Sidoarjo.
2. Bapak Dr. Muh. Hery Riyadi Alaudin,
S.Pi., M.Si, selaku Ketua Jurusan Teknologi Budidaya Perikanan.
3. Bapak Dr.
Muh. Hery Riyadi Alaudin, S.Pi., M.Si dan Bapak Dwilaksono K, S.Pi., MT selaku Dosen Pembimbing I dan II.
- Semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya proposal ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan proposal ini
masih belum sempurna, untuk itu segala kritik dan saran demi kesempurnaan proposal ini
sangat penulis harapkan.
Sidoarjo, 10 Maret 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
COVER............................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................
ii
KATA PENGANTAR...................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL.............................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vi
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan.............................................................................. 3
1.2.1. Maksud....................................................................................... 3
1.2.2.
Tujuan......................................................................................... 3
1.3. Pendekatan Masalah............................................................................ 3
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biologi Udang
Vannamei....................................................................... 6
2.1.1. Klasifikasi Udang Vannamei....................................................... 6
2.1.2. Ciri-ciri morfologi......................................................................... 6
2.1.3. Penyebaran dan habitat.............................................................. 7
2.1.4. Kebiasaan makan....................................................................... 8
2.1.5. Sifat dan Tingkah Laku............................................................... 9
2.2. Penyakit Udang
White Spot Shyndrome Virus (WSSV).......................... 10
2.2.1. Pengertian penyakit......................................................................... 10
2.2.2. Jenis Penyakit................................................................................. 10
2.2.3. Pengertian virus............................................................................... 12
2.2.4. Morfologi virus................................................................................. 14
2.2.5. Penyakit
White Spot Shyndrome Virus (WSSV)............................ 15
2.2.6. Transmisi virus
WSSV.................................................................... 16
2.3. Teknik
Pemeriksaan Penyakit White Spot Shindrom
Virus (WSSV).. 17
2.3.1. Teknik Pengambilan Sampel dan Penyimpanan
Sampel......... 17
2.3.2.
Teknik Fikasi Untuk Histologi......................................................... 18
2.4. Teknik Identifikasi WSSV dengan Metode PCR.................................. 18
2.4.1. Ekstraksi DNA/RNA................................................................... 19
2.4.2. Amplifikasi DNA/RNA................................................................. 20
2.4.3. Elektroforesis.............................................................................. 20
2.4.4. Running DNA............................................................................. 23
2.4.5. Pewarnaan DNA............................................................................. 23
2.4.6. Pembacaan Hasil....................................................................... 23
3.
METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu KPA ........................................................................ 25
3.2. Metode KPA ......................................................................................... 25
3.3. Sumber Data ........................................................................................ 26
3.4. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 26
3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data..................................................
27
DAFTAR
PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
|
1. Karakteristik
Patogen......................................................................................
11
2. Perbedaan Virus dengan Sel Hidup................................................................ 13
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1.Alur Pendekatan Masalah................................................................................ 5
2.Morfologi Udang Vannamei............................................................................. 7
3.Morfologi Virus................................................................................................. 15
4.White Spot Shyndrome Virus
yang Menyerang Udang Vannamei.................
16
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halamam
1. Rencana
Kegiatan Kerja Praktek Akhir (KPA)..........................................
29
2. Daftar
Kuisioner..........................................................................................
30
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Usaha budidaya
ikan laut sampai sekarang menunjukkan peningkatan yang semakin
pesat. Perkembangan ini memacu kegiatan distribusi induk dan benih dari satu
daerah ke daerah lain. Kegiatan ini berpotensi dalam penyebarluasan hama dan
penyakit ikan baik pada usaha budidaya ataupun akibat dari distribusi ikan.
Serangan wabah hama dan penyakit ikan dapat menyebabkan kematian massal atau
dapat menurunkan produksi serta menurunkan kualitas produk (Balai Budidaya Laut Lampung, 2002).
Dalam budidaya udang windu dan udang vannamei munculnya penyakit merupakan
kerugian besar. Berbagai fakta di lapangan memperlihatkan wabah penyakit akibat
infeksi bakteri, cendawan, dan virus menyebabkan terganggunya proses budidaya
karena dapat menyebabkan kematian massal.Beberapa virus yang menyerang udang di
tambak adalah White Spot Syndrome Virus
(WSSV) dan Taura Syndrome Virus
(TSV). Nah, infeksi virus dapat dideteksi dengan cepat dan akurat dengan metode
PCR (Polymerase Chain Reaction)
atau reaksi rantai polimerase.
Teknik tersebut sebenarnya bukan barang baru, tapi pemanfaatannya dalam dunia
akuakultur belum begitu lama karena tidak populer lantaran harga peralatannya
relatif mahal (Bebeja, 2013).
Reaksi
berantai polimerase (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah
suatu metode enzimatis untuk
melipatgandakan secara eksponensial
suatu sekuen nukleotida tertentu
dengan cara in vitro. Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun
1985 oleh Kary B. Mullis, seorang peneliti di perusahaan CETUS Corporation.
Pada awal perkembangannya metode PCR hanya digunakan untuk melipatgandakan
molekul DNA, namun kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan
pula untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitasi molekul mRNA. Saat ini
metode PCR telah banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis
genetik.
Metode
PCR tersebut sangat sensitif, sehingga dapat digunakan untuk melipatgandakan
satu molekul DNA. Metode ini juga sering digunakan untuk memisahkan gen-gen
berkopi tunggal dari sekelompok sekuen
genom. Dengan menggunakan metode PCR, dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5×109
mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit
(Mullis dan Fallona, 1989). Hal ini menunjukkan bahwa pelipatgandaan suatu fragmen DNA dapat dilakukan secara
cepat. Kelebihan lain metode PCR adalah bahwa reaksi ini dapat dilakukan
menggunakan komponen dalam jumlah sangat sedikit, misalnya DNA cetakan (template)
yang diperlukan hanya sekitar 5 µg, oligonukleotida
yang diperlukan hanya sekitar 1 mM dan reaksi ini bisa dilakukan dalam volume
50 – 100 Ï€l (Akbar, 2013).
Oleh karena itu, mengingat pentingnya
penguasaan teknik identifikasi penyakit viral pada ikan kerapu dengan metode
PCR, maka penulis tertarik untuk mengambil judul Teknik Identifikasi White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada
udang vannamei dengan Metode PCR khususnya
di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Carita. Pada Kerja Praktek Akhir ini penulis tertarik di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit
Hatchery Carita karena terdapat laboratorium uji hama dan penyakit
ikan yang sudah dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan pengujian hama dan
penyakit. Selain itu, PT.
Suri Tani Pemuka (STP) juga sudah terakreditasi dalam
mendiagnosis beberapa penyakit viral (WSSV,
IMNV, KHV, MBV maupun VNN),
penyakit bakterial (Vibrio harvey, Vibrio
alginolyticus), dan parasit (Zoothamnium
sp, Vorticella sp, Trichodina sp).
1.2. Maksud
dan Tujuan
1.2.1. Maksud
Maksud pelaksanaan Kerja Praktek Akhir
(KPA) ini adalah :
1.
Mengikuti
kegiatan teknis identifikasi penyakit viral pada udang vannamei dengan metode
PCR di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Carita.
2.
Mengidentifikasi penyakit
viral White
Spot Syndrome
Virus (WSSV)dengan
metode PCR yang menyerang udang vannamei
di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Carita.
3.
Mengetahui
prevalensi WSSV yang diperiksa dengan
metode PCR di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Carita.
1.2.2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan KPA ini adalah
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mengenai teknik identifikasi penyakit
viral dengan metode PCR pada udang vannamei
sesuai prosedur tindakan Laboratorium Hama dan Penyakit di PT.
Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Carita.
1.3. Pendekatan
Masalah
Pemeriksaan
virus tidak lepas dari permasalahan-permasalahan yang dapat menimbulkan
kesalahan-kesalahan baik dari segi input,
proses maupun dari segi output yaitu
hasil pemeriksaan sampel.
Kesalahan-kesalahan
tersebut antara lain :
1.
Virus
merupakan mikroorganisme yang berukuran sangat kecil.
2.
Sampel
uji yang tidak steril sehingga mengakibatkan hasil pemeriksaan tidak sesuai.
3.
Peralatan
laboratorium yang kurang memadai menyebabkan kegiatan pemeriksaan menjadi
terganggu.
4.
Proses
pemeriksaan yang kurang teliti sehingga terdapat kesalahan dalam proses
identifikasi.
5.
Sumber
daya manusia yang rendah menimbulkan kesalahan saat pemeriksaan virus.
Adanya
berbagai permasalahan yang timbul dapat menyebabkan hasil pemeriksaan virus
tidak akurat meskipun telah melalui prosedur tindakan laboratorium hama
dan penyakit. Hal ini
mendorong adanya evaluasi beberapa faktor tersebut seperti: sampel yang diuji, peralatan
laboratorium, proses identifikasi maupun sumber daya manusia yang berperan.
Jika ada perbaikan tindakan laboratorium
hama dan penyakit ikan diharapkan dapat mencegah penyebaran penyakit khususnya
penyakit viral dengan menerapkan tindakan laboratorium hama
dan penyakit ikan yang
sesuai. Alur pendekatan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.
![]() |








![]() |
|||||||||||
![]() |
|||||||||||
Gambar 1. Alur Pendekatan Masalah
2.1. Biologi Udang Vannamei
2.1.1. Klasifikasi Udang Vannamei
Menurut Erlangga (2012), klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus vannamei) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Arthropoda
Subfilum : Crustacea
Class : Malacostraca
Subclass : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Family : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus
vannamei
2.1.2.
Ciri-ciri
morfologi
Menurut Holthuis (1980) dalam Tim
karya tani mandiri (2009), udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) memiliki tubuh yang dibalut kulit tipis keras dari bahan chitin berwarna putih kekuning-kuningan
dengan kaki berwarna putih. Tubuh udang putih dibagi menjadi dua bagian besar,
yakni bagian :
1.
Cephalothorax yang terdiri atas kepala dan
dada.
2. Abdomen yang terdiri atas perut dan
ekor.
Cephalotorax dilindungi oleh kulit chitin tebal yang disebut juga dengan
karapas (carapace). Bagian cephalotorax ini terdiri atas lima ruas
kepala dan delapan ruas dada, sementara tubuhnya (abdomen) terdiri atas enam ruas dan satu ekor (telson). Bagian depan menjorok merupakan kelopak kepala yang
memanjang dengan bagian pinggir bergerigi yang disebut juga dengan cucuk (rostrum). Bagian rostrum ini bergerigi dengan 9 gerigi pada bagian atas dan dua
gerigi pada bagian bawah. Sementara itu, di bawah pangkal kepala terdapat
sepasang mata. Udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) dengan pertumbuhan normal
mempunyai laju pertumbuhan panjang 1,43 mm/hari dan pertumbuhan berat sebesar
0,28 gram/hari. Morfologi udang vannamei dapat
dilihat pada Gambar 2.
![]() |
Gambar 2. Morfologi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).
Sumber : Haliman, R. W dan Adijaya
(2005).
2.1.3.
Penyebaran dan habitat
Erick
Erlangga (2012), mengemukakan bahwa secara umum udang dapat hidup di semua
jenis habitat perairan, mulai dari perairan laut, payau, hingga perairan air
tawar. Sekitar 89 % udang hidup di perairan laut, 10 % hidup di perairan tawar,
dan 1 % hidup diperairan teresterial.
Pada umumnya habitat asli udang berada pada lingkungan perairan laut dengan
salinitas yang tinggi, berkisar diatas 30 ppt. Namun, dewasa ini dengan teknik
domestikasi udang dapat hidup diperairan yang memiliki salinitas yang rendah,
seperti halnya dengan udang vannamei. Sejak udang didomestikasikan dari
perairan laut sampai sekarang udang ini telah banyak dikembangkan dan
dibudidayakan dibeberapa negara termasuk di Indonesia. Udang vannamei yang banyak dikembangkan
dewasa ini merupakan udang yang termasuk ke dalam galur atau spesies Litopenaues vannamei. Udang ini berasal
dari perairan di Amerika Tengah. Udang vannamei
sendiri masuk ke negara kita ketika kelesuan bisnis budidaya udang melanda
negara kita pada tahun 2000.
Penyebaran
udang Litopenaeus vannamei meliputi
pantai pasifik, Meksiko, Laut Tengah dan Amerika bagian selatan. Di tempat
asalnya, Litopenaues vannamei hidup
pada suhu berkisar diatas 220 C dan udang jenis ini sangat mudah untuk berkembang
biak sehingga udang tersebut menjadi spesies andalan dalam budidaya udang
dibeberapa negara, termasuk negara kita. Di beberapa negara udang ini memiliki
beberapa nama diantaranya pacific white
shrimp, west coast white shrimp, comaro blanco langostino white leg shrimp,
camaron patiblanco dan lain sebagainya. Udang vannamei ini merupakan udang yang siklus hidupnya dimulai dari laut
lepas dan bermigrasi kedaerah pantai, muara atau perairan dangkal yang kaya
akan nutrien. Terkadang udang ini dapat beradaptasi pada lingkungan air yang
memiliki salinitas rendah seperti disungai-sungai air tawar.
2.1.4. Kebiasaan
makan
Kordi
(2010), menyatakan bahwa umumnya makanan yang pertama kali dimakan oleh udang
ialah plankton yang berukuran sangat
kecil. Di saat menjadi larva, udang membutuhkan makanan yang harus sesuai
dengan ukuran mulutnya. Bila larva udang memperoleh makanan yang sesuai dengan
ukuran mulutnya , maka udang akan dapat meneruskan hidupnya. Akan tetapi,
apabila dalam waktu yang relatif singkat udang tidak berhasil menemukan makanan
yang cocok denganukuran mulunya akan terjadi kelaparan dan kehabisan tenaga
yang menyebabkan kematian.
Seiring
dengan pertumbuhannya, akan terjadi perubahan pada pola makan udang, baik dalam
ukuran maupun kualitasnya. Pada waktu kecil, udang memakan plankton dan bila
telah dewasa akan mengikuti kebiasaan induknya. Namun banyak biota air termasuk
udang dapat menyesuaikan diri dengan persediaan makanan yang ada
dilingkungannya. Dalam suatu daerah geografis yang luas untuk satu spesies
udang yang hidup terpisah-pisah dapat terjadi perbedaan kebiasaan makanannya.
Perbedaan ini bukan untuk satu ukuran saja tetapi untuk semua ukuran. Jadi satu
spesies udang dengan ukuran yang sama dalam daerah yang berbeda dapat berbeda
kebiasaan makanannya.
Di
antara sifat yang terkait dengan kebiasaan makan udang adalah saling memangsa (Kanibalisme) dan ganti kulit (moulting). Pada fase Mysis sifat kanibalisme ini mulai muncul. Sifat kanibalisme ini mulai muncul disaat udang dalam kondisi lapar dan
udang yang menjadi sasaran adalah udang berukuran kecil, lemah dan sedang ganti
kulit. Kedua sifat ini dapat digunakan untuk memacu pertumbuhan udang budidaya.
Pada proses ganti kulit aktivitas makan udang menurun dan setelah selesai ganti
kulit aktivitas makannya tinggi sekali sebagai akibat tahap pemuasaan (starvasi) selama masa ganti kulit.
2.1.5. Sifat
dan tingkah laku
Sifat-sifat
penting udang vannamei (Litopenaeus vannamei) menurut Haliman,
R. W dan Adijaya (2005), adalah sebagai berikut :
a. Aktif pada kondisi gelap (nocturnal).
b.
Suka memangsa sesama jenis (kanibal).
c.
Tipe pemakan lambat, tetapi terus menerus (continous feeder).
d.
Menyukai hidup didasar (bentik).
e.
Mencari makan lewat sensor (hemoreceptor).
f.
Dapat hidup pada kisaran salinitas lebar (euryhalyne).
g. Ganti
Kulit (moulting).
Udang mempunyai kerangka luar yang keras
(tidak elastis). Oleh karena itu, untuk tumbuh menjadi besar udang perlu
membuang kulit lama dan menggantinya dengan kulit yang baru.
2.2.
Penyakit
Udang White Spot Shyndrome Virus (WSSV)
2.2.1.
Pengertian penyakit Udang
Penyakit adalah gangguan pada
fungsi atau struktur organ atau bagian tubuh ikan. Pengetahuan
tentang penyakit udang dirasakan sangat penting manakala wabah penyakit udang
telah menyebabkan kegagalan dan kehilangan yang sangat bermakna.
Kegagalan
budidaya perairan akibat penyakit tidak disebabkan oleh factor tunggal, akan
tetapi merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks antara udang (kualitas,
stadia rawan), lingkungan, organism dan kemampuan tenaga teknis (Balai Budidaya
Laut Lampung, 2002).
2.2.2. Jenis Penyakit
Penyakit
didefinisikan sebagai suatu keadaan fisik, morfologi, dan atau fungsi yang
mengalami perubahan dari kondisi normal karena beberapa penyebab, dan terbagi
atas dua kelompok yaitu penyebab dari dalam (internal) dan luar (eksternal).
Penyakit ikan umumnya adalah eksternal.
Penyakit internal
: genetik, sekresi internal, imunodefisiensi, saraf dan metabolik (Yuasa dkk, 2003). Penyakit eksternal meliputi :
A) Non
patogen
1. Penyakit lingkungan : suhu dan
kualitas air lainnya (pH, kelarutan gas, zat beracun).
2.
Penyakit
nutrisi : kekurangan nutrisi, gejala keracunan bahan pakan.
B) Patogen,
bersifat parasit dan terdiri atas empat kelompok yaitu :
1.
Penyakit
viral
2.
Penyakit
jamur
3.
Penyakit
bacterial
4.
Penyakit parasit
Karakteristik
setiap kelompok patogen dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Setiap Kelompok Patogen
|
Karakteristik
|
Virus
|
Bakteri
|
Jamur
|
Parasit
|
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
|
Ukuran
(Penyaring 0,45 µm)
|
25 - 350 nm (dapat
melalui penyaring) |
0,6 - 30 µm (tidak
dapat melalui penyaring) |
Besar
dari beberapa mikron (tidak dapat melalui penyaring)
|
Besar
dari beberapa
mikron (tidak dapat melalui penyaring)
|
|
Reproduksi
|
Transkripsi/reproduksi
pada inang DNA / RNA |
Segmentasi
|
Produksi
spora
|
Produksi
telur/spora
|
|
Kultur
|
Pada
sel
|
Pada
media
|
Pada
media
|
Pada
umumnya membutuhkan
inang hidup
|
|
Deteksi
|
-
Kultur sel, PCR
- Secara imunologi - Mikroskop |
-
Kultur pada agar
- Mikroskop - Secara imunologi |
-
Kultur pada agar Mikroskop
|
Mikroskop
|
|
Identifikasi
|
- Secara genetik
- Secara morfologi |
a. Secara biokimia
b. Secara genetik
|
Secara morfologi
|
Secara morfologi
|
Sumber : Yuasa, dkk, (2003)
2.2.3.
Pengerrtian Virus
Virus adalah parasit berukuran mikroskopik yang menginfeksi sel organisme biologis, dengan ukuran tubuh hanya
berkisar antara 25 – 300 nanometer,
sehingga hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material
hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak
memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri. Dalam sel inang,
virus merupakan parasit obligat dan di luar inangnya menjadi tak
berdaya. Biasanya virus mengandung terdiri atas protein, lipid, glikoprotein, atau
kombinasi ketiganya. Genom virus
menyandi baik protein yang digunakan untuk memuat bahan genetik maupun protein
yang dibutuhkan dalam daur hidupnya (Agus, 2011).
Istilah virus biasanya
merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel eukariota (organisme multisel dan banyak jenis organisme sel tunggal), sementara
istilah bakteriofag atau fag digunakan untuk jenis yang menyerang
jenis-jenis sel prokariota (bakteri
dan organisme lain yang tidak berinti
sel). Virus sering
diperdebatkan statusnya sebagai makhluk hidup karena ia tidak dapat menjalankan
fungsi biologisnya secara bebas. Karena karakteristik khasnya ini virus selalu terasosiasi dengan penyakit tertentu,
baik pada manusia misalnya virus influenza
dan HIV, pada hewan misalnya virus flu burung atau pada tanaman misalnya virus
mosaik tembakau (Diqi, 2011)
Sedangkan menurut Agus, (2011), Virus
merupakan salah satu jenis mikroorganisme
parasit. Virus ini mempunyai ciri-ciri tidak dimiliki oleh organisme lain. Virus hanya dapat berkembang biak di sel-sel hidup
lain (sifat virus parasit obligat) karenanya, vius dapat dibiakkan
pada telur ayam yang berisi embrio hidup. Untuk bereproduksi virus hanya
memerlukan asam nukleat saja. Ciri
lainnya, virus tidak dapat bergerak maupun melakukan aktivitas metabolisme sendiri. Selain itu irus
tidak dapat membelah diri. Virus tidak dapat diendapkan dengan sentrifugasi biasa, tetapi dapat
dikristalkan.
Istilah virus
biasanya merujuk pada partikel-partikel yang menginfeksi sel-sel eukariota (organisme multisel dan
banyak jenis organisme sel tunggal),
sementara istilah bakteriofag atau fag digunakan untuk jenis yang
menyerang jenis-jenis sel prokariota
(bakteri dan organisme lain yang
tidak berinti sel). Pengetahuan tentang virus terus
berkembang sampai lahir ilmu cabang biologi yang mempelajari virus disebut virology (Agus, 2011).
Perbedaan virus dengan sel hidup antara lain dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Beda
Virus dengan Sel Hidup
|
No.
|
Pembeda
|
Sel hidup
|
Virus
|
|
1
|
Asam nukleat
|
2 tipe asam nukleat (DNA dan RNA)
|
1 tipe asam nukleat (RNA atau DNA)
|
|
2
|
Sistem metabolime
|
Memiliki
|
Tidak
memiliki (harus melalui perantara inang)
|
|
3
|
Sistem
reproduksi
|
Mampu
memproduksi semua bagian sel
|
Hanya mampu
memproduksi materi genetik dan selubung protein
|
Sumber : Alvianto, (2009)
Menurut Diqi (2011), Virus mempunyai sifat serta ciri-ciri yang berbeda dengan mikroorganisme bersel tunggal. Adapun
ciri-ciri virus antara lain sebagai
berikut :
a. Berukuran ultra mikroskopis.
b. Parasit sejati/parasit
obligat.
c. Berbentuk oval,
bulat, batang, huruf T, kumparan.
d. Kapsid tersusun dari protein yang berisi DNA saja atau RNA.
e. Dapat dikristalkan.
f. Aktivitasnya harus di sel makhluk hidup.
2.2.4. Morfologi virus
Menurut Agus (2011), Virus paling sederhana terdiri
dari molekul asam nukleat tunggal
yang dibungkus oleh selubung protein (kapsid).
Kapsid disusun oleh kapsomer – kapsomer yang satu sama lain terikat melalui
ikatan nonkovalen membentuk
kesimetrisan. Untuk mengetahui struktur virus
secara umum dapat dengan menggunakan bakteriofage (virus T), strukturnya
terdiri dari:
a. Kepala
Kepala virus berisi DNA dan bagian luarnya diselubungi kapsid. Satu unit protein yang menyusun kapsid disebut kapsomer.
Kepala virus berisi DNA dan bagian luarnya diselubungi kapsid. Satu unit protein yang menyusun kapsid disebut kapsomer.
b. Kapsid
Kapsid adalah selubung yang berupa protein. Kapsid terdiri atas kapsomer. Kapsid juga dapat terdiri atas protein monomer yang yang terdiri dari rantai polipeptida. Fungsi kapsid untuk memberi bentuk virus sekaligus sebagai pelindung virus dari kondisi lingkungan yang merugikan virus.
Kapsid adalah selubung yang berupa protein. Kapsid terdiri atas kapsomer. Kapsid juga dapat terdiri atas protein monomer yang yang terdiri dari rantai polipeptida. Fungsi kapsid untuk memberi bentuk virus sekaligus sebagai pelindung virus dari kondisi lingkungan yang merugikan virus.
c. Isi tubuh
Bagian isi tersusun atas asam inti, yakni DNA saja
atau RNA saja. Bagian isi disebut sebagai virion.
DNA atau RNA merupakan materi genetik yang berisi kode-kode pembawa sifat
virus. Berdasarkan isi yang dikandungnya, virus dapat dibedakan menjadi virus
DNA (virus T, virus cacar) dan virus RNA (virus influenza, HIV, H5N1). Selain itu di dalam isi virus terdapat
beberapa enzim.
d. Ekor
Ekor virus merupakan alat untuk menempel pada inangnya. Ekor virus terdiri atas tubus bersumbat yang dilengkapi benang atau serabut. Virus yang menginfeksi sel eukariotik tidak mempunyai ekor.
Ekor virus merupakan alat untuk menempel pada inangnya. Ekor virus terdiri atas tubus bersumbat yang dilengkapi benang atau serabut. Virus yang menginfeksi sel eukariotik tidak mempunyai ekor.
Gambar Morfologi virus dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Morfologi Virus
2.2.5.
Penyakit White Spot Shyndrom Virus (WSSV)
Sejak ditemukan pada tahun 1992 di Taiwan
penyakit ini telah menjadi ancaman yang serius terhadap budidaya udang vannamei. WSSV merupakan penyakit yang
disebabkan oleh virus dari golongan Nimaviridae
dan memiliki bentuk basil. Virus ini memiliki Virion dengan panjang berkisar antara 210 – 380 nm dan lebar
berkisar antara 70 – 167 nm. Virus ini memiliki tingkat virulensi yang tinggi dan menyebabkan kematian massal dalam jangka
2 – 33 hari setelah udang vannamei teridentifikasi
terserang penyakit ini.
Udang yang
terkena penyakit ini biasanya menunjukan tanda adanya bercak putih pada
bagian karapas. Biasanya tanda
tersebut akan terlihat jelas ketika udang telah mencapai bobot 3 – 5 gram,
sedangkan dibawah itu akan sulit untuk menentukan apakah udang terserang penyakit
atau tidak. Biasanya untuk udang yang bobotnya kurang dari 3 gram dilakukan tes
dengan menggunakan alat shrimp test kit.
Beberapa kasus penyakit bercak putih yang
terjadi pada udang vannamei umumnya akan menyerang beberapa organ vital.
Organ-organ target yang sering diserang oleh virus ini diantaranya sel-sel
insang, hepatopankreas dan usus.
Sel-sel hepatopankreas, usus dan
insang udang yang terkena penyakit ini akan mengalami kerusakan yang ditandai
dengan hipertropi inti dan inklusi sel tubuh. Adanya bercak putih
pada karapas dan sefalotoraks disebabkan
oleh terjadinya abnormalitas pada
penyimpanan garam kalsium didalam tubuh udang (Erlangga, 2012). White Spot Shyndrome Virus yang
menyerang udang vannamei dapat
dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. White Spot Shyndrom Virus yang menyerang udang vannamei
Sumber : Tigor (2014)
2.2.6. Transmisi virus WSSV
Penyebaran
penyakit WSSV pada udang bisa terjadi secara vertical melalui induk menularkan ke larvanya (Kasornchandra et al., 2002) dan secara horizontal melalui air yang tidak disuci
hamakan (Waterborne transmission),
kotoran udang yang terinfeksi, pemamgsaan udang terinfeksi, makanan alami/segar
jenis krustasea dan dari hama jenis
krustasea. Untuk mengatasi dampak virus ini, diperlikan pengetahuan mengenai
trasmisi infeksi virus WSSV terutama pada tingkat molekuler untuk dapat melakukan intervensi terhadap patogenisitasnya sehingga penanganan
dapat dilakukan secara tuntas dan efisisn (Nurhidayah, 2010).
2.3. Teknik
Pemeriksaan Penyakit White Spot Shyndrome
Virus (WSSV)
2.3.1. Teknik
Pengambilan dan Penyimpanan Sampel
Tahap awal yang dilakukan adalah melihat kenampakan
sampel udang yang diduga terkena serangan virus, kemudian segera menyiapkan
seluruh alat yang akan digunakan untuk pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan
dengan keadaan steril agar tidak terjadi kontaminasi
seperti halnya penggunaan pinset atau gunting yang berbeda pada masing-masing
sampel yang akan di uji. Bahan uji diambil dari udang dengan cara menggambil
bagian organ pleopode, periopode, insang dan ekor dengan
menggunakan gunting dan pinset. Organ target yang telah diambil selanjutnya
disimpan dalam alcohol 95 % kemudian dilakukan pemberian label atau pengkodean
sampel pada masing-masing tube sesuai dengan nomor contoh. Selanjutnya disimpan
sampel pada suhu 20 0C dalam freezer
(Pratama, 2013).
Sedangkan menurut Faruza (2014), teknik
pengambilan sampel dan seberapa banyak individu yang akan diambil sangat
dipengaruhi oleh tujuan pemeriksaan dan kegiatan yang dilakukan, untuk tujuan monitoring rutin dan tidak menunjukan
tanda serangan maka sampling dilakukan secara random dengan jumlah sampel yang diambil antara 5 – 10 ekor untuk
ukuran besar, sedangkan benih antara 10 – 15 ekor. Sedangkan apabila dalam
populasi menunjukan tanda ada serangan maka dapat diambil yang menunjukan tanda
seperti :
·
Berenang
kepermukaan
·
Berenang
terbalik kemudian mati
·
Menunjukan
gajala abnormal lainnya.
2.3.2. Teknik Fikasi Untuk Histologi
Maksud fikasi
adalah :
·
Untuk
mematikan dan mengeraskan jaringan secara cepat dan aman.
·
Memelihara
sel atau jaringan terhadap perubahan autolysis
dan pembusukan.
·
Menjaga sel
atau jaringan agar lebih tahan terhadap proses dehidrasi, clearing, embedding dan staining.
Larutan fikasi harus cukup untuk memfikasi atau
mengawetkan sampel secara sempurna, oleh karena itu untuk masing-masing specimen dengan volume 10 ml diperlukan
larutan fikasi 100 ml (10 kali lipat
volume sampel). Untuk sampel crustacean
sebaiknya digunakan larutan Davidson
sebagai fikasi sedangkan untuk sanpel ikan pada umumnya digunakan 10 % buffer
formalin (Faruza, 2014)
2.4. Teknik Identifikasi WSSV dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi Polimerase Berantai atau dikenal sebagai Polymerase Chain Reaction
(PCR), merupakan suatu proses sintesis
enzimatik untuk melipatgandakan suatu
sekuens nukleotida tertentu secara in vitro. Metode ini dikembangkan
pertama kali oleh Kary B. Mulis pada tahun 1985. Metode ini sekarang telah
banyak digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetic. Pada
awal perkembanganya metode ini hanya digunakan untuk melipatgandakan molekul
DNA, tetapi kemudian dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat digunakan pula
untuk melipatgandakan dan melakukan kuantitas molekul mRNA.
Dengan menggunakan metode PCR dapat
meningkatkan jumlah urutan DNA ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula,
sekitar 106 – 107 kali. Setiap urutan basa nukleotida
yang diamplifikasi akan menjadi dua
kali jumlahnya. Pada setiap siklus PCR akan diperoleh 2n kali banyaknya
DNA target. Kunci utama pengembangan PCR adalah menemukan bagaimana cara amplifikasi hanya pada urutan DNA target
dan meminimalkan amplifikasi urutan
non-target. Metode PCR dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam jumlah
yang sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5µg, oligonukliotida yang digunakan hanya
sekitar 1 mM dan reaksi ini biasa dilakukan dalam volume 50-100 µl. DNA cetakan
yang digunakan juga tidak perlu dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR
dapat digunakan untuk melipatgandakan suatu sekuens
DNA dalam genom bakteri. Konsep asli teknologi PCR mensyaratkan bahwa bagian
tertentu sekuen DNA yang akan dilipatgandakan harus diketahui terlebih dahulu
sebelum proses pelipatgandaan tersebut dapat dilakukan. Sekuen yang diketahui
tersebut penting untuk menyediakan primer, yaitu suatu sekuens oligonukleotida pendek yang berfungsi
mengawali sintesis rantai DNA dalam
reaksi berantai polimerase (Yudha,
2012).
Prinsip
kerja uji PCR adalah mengekstraksi
DNA/RNA dari sampel. Berikutnya memperbanyak potongan-potongan DNA/RNA yang
membawa informasi genetika tertentu, dan sebagai langkah terakhir adalah proses
elektroforesis untuk melihat hasil
produk PCR. Sampel yang diuji PCR sebaiknya dalam kondisi segar. Namun bila
tidak memungkinkan sampel dapat disimpan dalam larutan alkohol 95 %
(perbandingan 1: 9, 1 bagian sampel dengan 9 bagian alkohol 95 %)
untuk kemudian dikirim ke laboratorium (Bebeja, 2013).
2.4.1. Ekstraksi DNA/RNA
Menurut
Babaja (2013), proses
tersebut dilakukan dengan memakai larutan Lysis
Buffer (IQ2000 TM). DNA
diekstrak dari sel-sel sampel untuk kemudian diamankan dari kerusakan akibat
kerja enzim dNase. Selanjutnya ekstrak
disentrifus sehingga diperoleh
butiran/pelet DNA, yang akan dipakai dalam tahap kedua proses uji PCR.
Untuk mengekstrak RNA digunakan RNA Extraction
Solution (IQ2000 TM), yang sekaligus
akan mengamankan RNA dari kerusakan akibat kerja enzim rNase.
Hasil
ekstraksi DNA/RNA pada tahap pertama
tersebut lantas digandakan dengan bantuan enzim-enzim yang dikenal
sebagai primer. Satu jenis primer bertanggung jawab atas penggandaan satu
jenis DNA/RNA tertentu, sehingga primer WSSV hanya bisa dipakai untuk uji WSSV.
Demikian seterusnya. Proses penggandaan DNA/RNA dengan bantuan enzim-enzim ini
dikenal sebagai proses amplifikasi yang
dilakukan pada kondisi suhu dan siklus penggandaan tertentu, yang dapat diatur
pada thermocycle. Alat itu disebut sebagai mesin PCR.
2.4.2.
Amplifikasi DNA/RNA
Menurut Hardian (2009), amplifikasi merupakan proses dimana dilakukannya
perpanjangan DNA menggunakan Primer yang memerlukan Taq DNA polymerase yang termostabil, biasanya pada suhu 72 °C,
yang merupakan suhu optimal untuk aktivitas enzim polymerase. Lamanya masa inkubasi
tiap temperatur, perubahan suhu dan jumlah siklus dikontrol secara terprogram
menggunakan programmable
thermal cycler. Analaisa produk PCR tergantung pada kebutuhann PCR.
Jika menggunakan PCR konvensional,
maka produk PCR dapat dideteksi dengan agarose
gel electrophoresis dan ethidium
bromide (atau dye nukleotida
lainnya).
2.4.3. Elektroforesis
Elektroforesis adalah suatu teknik yang mengukur
laju perpindahan atau pergerakan partikel-partikel bermuatan dalam suatu medan
listrik. Prinsip kerja dari elektroforesis
berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif (anion), dalam hal tersebut DNA, yang
bergerak menuju kutub positif (anode),
sedangkan partikel-partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak menuju kutub negatif (anode). Elektroforesis digunakan untuk mengamati hasil amplifikasi dari DNA. Hasil elektroforesis yang terlihat adalah
terbentuknya band
yang merupakan fragmen DNA hasil amplifikasi dan menunjukkan
potongan-potongan jumlah pasangan basanya (Klug & Cummings 1994: 397).
Teknik
elektroforesis mempergunakan medium
yang terbuat dari gel. Perpindahan partikel pada medium gel tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti ukuran partikel, komposisi dan
konsentrasi gel, densitas muatan,
kuat medan listrik dan sebagainya. Semakin kecil partikel tesebut, maka
pergerakan atau migrasinya akan
semakin cepat, karena matriks gel mengandung jaringan kompleks berupa pori-pori
sehingga partikel-partikel tersebut dapat bergerak melalui matriks tersebut
(Brown 1992: 19).
Sedangkan menurut
Prasetyo (2009), elektroforesis adalah perpindahan molekul yang bermuatan sebagai
respon terhadap medan listrik. Angka perpindahan tergantung pada kekuatan medan
listrik, muatan listrik, ukuran dan bentuk molekul, kekuatan ionik, viskositas, dan suhu medium yang digunakan oleh molekul tersebut
untuk berpindah. Ada bermacam-macam zat kimia yang digunakan sebagai gel di
dalam proses elektroforesis.
Penggunaan jenis gel disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Pada umumnya ada dua cara yang digunakan dalam proses elektroforesis yaitu elektroforesis gel agarose (AGE) dengan visualisasi menggunakan ethidium bromide dan elektroforesis gel polyacrilamide (PAGE) dengan visualisasi
menggunakan silver staining
(Sulandari, Sri, M. Syamsul, 2003).
Sebelum
melakukan proses elektroforesis
pertama-tama disiapkan terlebih dahulu larutan ethidium bromide dan agarose
yang mana langkah-langkahnya seperti berikut:
1) Persiapan Et Br (Ethidium Bromide)
Ethidium bromide adalah zat mutagen yang
sangat kuat dan dapat menyebabkan kanker. Oleh karena itu dalam menggunakan zat
ini harus dilengkapi dengan sapu tangan dan masker sebagai pelindung diri. Etidium merupakan sebuah molekul yang dapat mengikat kuat pada
DNA. Etidium juga biasa digunakan
dalam biokimia untuk memvisualisasi potong-potongan DNA yang
telah dipisahkan pada gel elektroforesis.
Ethidium bromide disiapkan
dalam larutan stock 10 mg/ml dalam botol gelap.
2) Persiapan Agarose
Agarose adalah polimer linier yang tersusun dari residu D-galaktose dan L-galaktose. Agarose
yang dibuat sebesar 1,5-2% dalam larutan 1 TAE atau 1 TBE dalam
botol gelas kemudian panaskan pada suhu 100 – 150 0C selama 10 menit
dalam microwave hingga bening.
Setelah dipanaskan kemudian didinginkan hingga suhunya mencapai 60 0C.
Agarose yang cukup dingin dituangkan
ke dalam cetakan agarose yang telah dipasangi sisir dan yang perlu diperhatikan
saat penuangan yakni menghindari terjadinya gelembung udara namun jika ada
gelembung udaranya dapat dibuang dengan menggunakan mikrotip.
Setelah agarose telah terbentuk dan siap
digunakan maka berlanjut pada proses elektroforesis
dimana 2 µl loading dye disiapkan
sesuai jumlah sampel yang ada. Kemudian lakukan preparasi DNA marker, masukan 4 µl marker dalam sumur gel
agarose. Amplicon hasil PCR
sebanyak 10 µl dicampurkan dengan masing-masing loading dye dan masukan 10 µl campuran tersebut dalam sumur
berikutnya. Setelah semua dimasukan dalam gel
agarose kemudian alirkan listrik 100 V hingga indikator warna bromphenol blue bergerak ¾ bagian dari
panjang gel.
2.4.4. Running
DNA
Running DNA
berlangsung didalam gel yang direndam pada larutan buffer. Running DNA ini dibantu dengan adanya aliran listrik pada
alat elektroforesis. Dimana DNA di
dalam gel mengikuti arus listrik dari kutub negatife menuju kutub positif.
Pergerakan ini terjadi dimana fragmen
DNA yang lebih kecil berat molekulnya akan berjalan lebih cepat dari molekul
DNA yang lebih besar. Setelah menunggu ± 1 jam baru kemudian gel agarose diangkat dan siap menuju
tahap selanjutnya.
2.4.5. Pewarnaan DNA
Pewarnaan
DNA dengan larutan Et Br ini akan memudahkan kita untuk dapat melihat hasilnya
karena biasanya dalam proses ini Et Br dapat memvisualisasikan potongan DNA setelah melalui proses elektroforesis. Pewarnaan dimulai dengan
memasukan 0,05 % Et Br dalam wadah plastic bersamaan dengan gel agarose hingga
terendam seluruhnya. Digoyang-goyangkan selama 10 menit agar larutan terserap
pada gel agarose kemudian diangkat.
Untuk menghilangkan Et Br yang tersisa gel
agarose direndam kembali dalam aquades selama 10 menit dengan perlakuan
yang sama dengan Et Br di atas. Kemudian letakan gel agarose pada UV transilluminator untuk dibaca hasilnya.
2.4.6. Pembacaan Hasil
Menurut OIE (2003), Pembacaan hasil adalah pembacaan hasil elektroforesis yang dibaca dengan bantuan
sinar UV serta pendaran warna dari Ethibium
Bromide dan pengamatan yang sudah ditambahkan pada Agarose.
Pemberian Ethibium
Bromide adalah untuk mendeteksi asam nukleat bentuk tunggal atau ganda
(baik DNA atau RNA). Dalam Ethibium
Bromide terdapat substansi yang mengandung gugus planar. Posisi yang tetap gugus ini dan letaknya berdekatan dengan
basa-basa menyebabkan zat warna yang terikat pada DNA menunjukkan peningkatan fluorisensi dibanding zat warna yang
bebas dalam larutan (Haryana dan Prakoso, 1989). UV transilluminator adalah alat yang digunakan untuk memaparkan
gambaran pita DNA yang telah diwarnai dengan Ethidium Bromide dalam media gel
agarose. Pita DNA yang terbentuk dengan
menggunakan UV transilluminator
dilakukan dengan membandingkan pergerakan pita pada sampel dengan kontrol
positif dan negatif. Semakin terang
pada UV transilluminator, maka infeksi
virus tersebut semakin positif.
|
3.1. Lokasi dan Waktu KPA
Kerja Praktek Akhir (KPA) ini akan dilaksanakan selama 1,5 bulan dari tanggal 24 Maret – 09 Mei 2014 di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Carita Kecamatan Carita Kabupaten
Pandeglang Provinsi Banten. Jadwal
rencana kegiatan Kerja Praktek Lapang (KPA) dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.2.
Metode KPA
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan KPA ini adalah metode survey dengan sistem magang. Metode survey
adalah penyelidikan untuk memperoleh fakta dari gejala yang ada dan mencari
keterangan secara faktual (Nazir 1999).
Sedangkan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan
dilakukan dengan partisipasi langsung dalam proses identifikasi penyakit viral pada udang vannamei. Penulis juga mengikuti secara menyeluruh proses kegiatan pemeriksaan
virus dengan pola magang. Hal yang akan diamati adalah tindakan laboratorium hama dan penyakit ikan di PT.
Suri Tani Pemuka (STP) Carita yaitu mengenai kegiatan
identifikasi penyakit udang golongan virus, meliputi perlakuan udang yang
terserang virus, pemusnahan uadang
yang terserang virus, dan lain-lain. Lebih
jelasnya Setiadjit (2008), menegaskan sistem magang adalah suatu
belajar mengajar dalam bentuk praktek secara langsung di tempat yang digunakan
untuk magang yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan, kompetensi dan
kecakapan dalam membuat kreativitas, sikap kritis, rasa percaya diri dan jiwa
kewiraswastaan. Survey ini dilakukan dengan mencari data dan mencatat
hal-hal penting mengenai proses identifikasi sambil ikut berpatisipasi langsung
dilapangan.
3.3. Sumber
Data
Berdasarkan sumber
data yang diperoleh,
terdiri dari data primer dan data sekunder. Menurut Subagyo (1991),
pengertian data primer dan data sekunder adalah :
a. Data
primer adalah data yang diperoleh
secara langsung dari sumber di tempat KPA, yang diperoleh secara langsung melalui wawancara,
observasi serta partisipasi di lapangan. Termasuk data primer adalah alat dan bahan PCR serta prosedur kerja alat-alat PCR.
b. Data
sekunder adalah data atau informasi
yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya. Dapat berupa literatur di perpustakaan atau internet dalam bentuk dokumen yang nantinya digunakan untuk
melengkapi laporan tentang teknik identifikasi penyakit viral WSSV pada udang
vannamei. Termasuk data sekunder adalah letak, struktur organisasi, sarana dan
prasarana di PT. Suri Tani Pemuka (STP) Unit Hatchery Carita.
3.4. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan
data dilaksanakan dengan cara :
a
Observasi
partisipan, menurut Narbuko dan Achmadi (2004), yang dimaksud dengan observasi partisipan
yaitu apabila orang yang melakukan
observasi turut ambil bagian atau berada dalam keadaan obyek yang diobservasi.
Observasi meliputi berbagai hal yang dilakukan mulai dari pengambilan
sampel ikan sampai identifikasi ikan yang akan diteliti.
b.Interview atau wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara sipenanya
atau pewawancara dengan sipenjawab atau responden dengan menggunakan alat yang
dinamakan interview guide (panduan
wawancara) atau juga dengan menggunakan daftar kuisioner. Daftar
kuisioner dapat dilihat pada Lampiran 2.
3.5. Teknik
Pengolahan dan Analisa Data
Menurut Narbuko dan Achmadi (2004), setelah data primer
dan data sekunder terkumpul kemudian data tersebut diolah dengan cara:
a. Editing : kegiatan mengecek,
memeriksa dan mengoreksi data yang telah terkumpul.
b. Tabulating : menyusun data ke dalam bentuk
tabel agar mudah dimengerti.
Analisis data yang digunakan adalah
analisis deskriptif. Penggunaan analisis deskriptif bertujuan agar data dapat
disajikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tanpa memberikan perlakuan
apapun, sehingga dapat dengan mudah mengambil kesimpulan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar dan Sudaryanto.
2002. Pembenihan & Pembesaran Kerapu Bebek. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal.
5; 59.
Alvianto. 2009. Perbedaan
Virus dan Organisasi Sel. http://alvin53.blogspot.com/2009/03/perbedaan-virus-organisasi-sel.html
BBL
Lampung. 2002. Pengelolaan Kesehatan Ikan Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut
Lampung. Bandar Lampung.
Brown, T. A.
1992. Genetics: A molecular
approach. 2nd ed. Chapman & Hall, London:
xxii + 467 hlm. http://biologicallytested.wordpress.com/2010/01/29/elektroforesis-pcr/. [5
Maret 2014]
Diqi. 2011. Pengertian Virus, Sejarah, Ciri-ciri, Anatomi, Reproduksi,
peranan, perikanan. http://pobersonaibaho.wordpress.com/2011/02/22/pengertian-virus-sejarah-ciri-ciri-anatomi-reproduksi-klasifikasi/ [4 Maret 2014]
Faruza. 2014. Teknik Diognosa Penyakit Ikan. http://www.academia.edu/4876626/TEKNIK_DIAGNOSA_PENYAKIT_IKAN [5
Maret 2014]
Kordi, Ghufran,. 2010. Pakan Udang.
Akademia. Jakarta.
Krisno, Agus. 2011. Pengertian
virus, sejarah, ciri - ciri, anatomi, reproduksi,
klasifikasi, peranan perikanan. http://aguskrisnoblog.wordpress.com/2011/01/14/anatomi-dan-morfologi-bakteri-jamur-virus/. [4 Maret 2014]
Narbuko. C dan Ahmadi.
A. 2004. Metodologi Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta.
Nazir Moh. 1999. Metode Peneltian. Ghalia. Jakarta
Nurhidayah.
2010. Penyebaran White Spot Shyndrome
Virus Pada Pasca Larva Udang Windu Dengan Substrat Yang berbeda. http://118.97.33.150/jurnal/files/c0349e6f23a22b07561ba150e23299ab.pdf
[5 Maret 2014]
OIE.
2003. Manual for Diagnostic Test Aquatic
Animals. Office International Des Epizootifs. Paris.
Prasetyo, A., 2009. Materi Asistensi Biomedik FK UNS. FK
UNS. Semarang
Pratama. 2013. Pemeriksaan Virus TSV Pada Udang Vannamei Dengan Pendekatan
Biomolekuler di BKIPM Kelas II Tanjung Emas Semarang. http://www.slideshare.net/pungkypratamananda/pemeriksaan-virus-tsv-new [5 Maret 2014]
Setiadjit. 2008. Disnaker Tak Batasi Lowongan Magang ke
Jepang. Dinas Infokom Jatim.
Sulandari, Sri, M. Syamsul, 2003. Panduan Praktis Laboratorium DNA.
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Jakarta.
Susilo, Hardian. 2009. Metode Amplifikasi dalam PCR. http://tophotnews.wordpress.com/2009/11/25/reverse-transcription-pcr-rt-pcr/.
[15 Januari 2013]
Tigor. 2011. Penyakit Udang. http://tigor46.blogspot.com/2011/09/penyakit-udang.html
[5 Maret 2014]
Wolfe, S.L.
1993. Molecular and cellular
biology. Wadsworth Publishing Company, Belmont: xviii + 1145 hlm. http://biologicallytested.wordpress.com/2010/01/29/elektroforesis-pcr/
[15 Januari 2013]
Yuasa et. al. 2003. Panduan Diagnosa Penyakit Ikan. Balai Budidaya Air
Tawar Jambi dan Japan International Cooperation Agency (JICA).



